Ketika Pencitraan Mengalahkan Substansi: Tragedi Literasi Politik Indonesia

Avatar Author

admin

Published - public May 24, 2025 - 02:37 414 Reads
Bagikan:
Muhammad Fauzi

Foto: Muhammad Fauzi

Oleh: Muhammad Fauzi 
Lubuklinggau - Masyarakat Indonesia terjebak dalam ilusi politik yang berbahaya, di mana mereka lebih mudah terpengaruh oleh pencitraan kosong ketimbang memahami substansi kebijakan yang sesungguhnya. Fenomena ini mencerminkan kondisi demokrasi Indonesia yang paradoksal: tinggi partisipasi namun rendah kualitas pemahaman politik.
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia menghadapi dilema serius ketika tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum relatif tinggi, namun literasi politik dan pemahaman mendalam tentang isu-isu substansial masih jauh dari harapan. Survei-survei berbagai lembaga riset menunjukkan gambaran kontradiktif dimana sebagian besar responden mengaku mengenal nama-nama tokoh politik dan partai politik, tetapi ketika ditanya tentang program kerja, visi-misi, atau track record kinerja, jawaban yang diberikan cenderung superfisial atau bahkan meleset.
Sungguh memprihatinkan melihat bagaimana literasi politik kita begitu rendah, sementara politisi berlomba-lomba menciptakan citra palsu untuk meraup suara tanpa memberikan solusi nyata bagi permasalahan rakyat. Kondisi ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang selama ini lebih menekankan aspek hafalan daripada pemahaman kritis. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang seharusnya menjadi fondasi literasi politik, dalam praktiknya sering kali terjebak dalam indoktrinasi formal tanpa mengembangkan kemampuan berpikir analitis siswa terhadap fenomena politik kontemporer.
Era digital dan media sosial telah mengubah lanskap politik Indonesia dengan drastis, menciptakan arena baru bagi politisi untuk membangun citra dan meraih simpati publik. Platform-platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi medium utama pencitraan politik yang kerap mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. Betapa frustrasinya menyaksikan demokrasi kita direduksi menjadi ajang kontes popularitas di media sosial, sementara isu-isu penting seperti kemiskinan, korupsi, dan ketimpangan terabaikan di balik gemerlap kampanye digital.
Pencitraan semu dalam konteks politik Indonesia merujuk pada upaya sistematis untuk menciptakan persepsi publik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas. Fenomena "blusukan" yang menjadi tren di kalangan politisi merupakan contoh nyata pencitraan yang patut dicermati. Meski sebagian mungkin dilakukan dengan niat baik untuk mendekatkan diri dengan rakyat, tidak sedikit yang bersifat artifisial dan hanya bertujuan untuk konsumsi media. Aksi turun ke sawah, makan di warung kaki lima, atau bermain dengan anak-anak di kampung sering kali lebih diatur sebagai sesi foto daripada bentuk kepedulian genuine.
Media massa turut bertanggung jawab atas rendahnya kualitas pengetahuan politik masyarakat melalui pemberitaan politik yang cenderung sensasional dan fokus pada drama personal tokoh politik, dibandingkan dengan analisis mendalam tentang kebijakan publik. Hal ini telah membentuk pola konsumsi informasi masyarakat yang lebih mengutamakan hiburan daripada edukasi, menciptakan siklus dimana substansi politik semakin terpinggirkan.
Kombinasi antara rendahnya pengetahuan politik masyarakat dan maraknya pencitraan semu menghasilkan dampak sistemik yang mengkhawatirkan bagi kualitas demokrasi Indonesia. Pemilih cenderung membuat keputusan berdasarkan kesan sesaat daripada evaluasi komprehensif terhadap kapasitas dan integritas calon. Fenomena ini menciptakan insentif yang salah bagi politisi, dimana mereka lebih fokus pada upaya membangun citra positif di mata publik ketimbang menghasilkan kebijakan berkualitas dan kinerja nyata.
Dengan kondisi masyarakat yang lebih suka mengonsumsi berita politik sebagai hiburan daripada bahan evaluasi, sulit berharap Indonesia akan memiliki pemimpin berkualitas yang terpilih berdasarkan kompetensi. Era post-truth atau pasca-kebenaran menambah kompleksitas permasalahan ini, dimana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan kepercayaan personal. Hoaks dan disinformasi menyebar dengan mudah, sementara klarifikasi dan fact-checking sering kali tidak sampai kepada khalayak yang sama.
Algoritma media sosial yang cenderung menciptakan echo chamber atau ruang gema turut memperparah situasi dengan membuat pengguna lebih sering terpapar informasi yang sesuai dengan preferensi mereka, sehingga persepsi yang bias pun semakin menguat. Dalam konteks politik, hal ini berarti supporter suatu tokoh atau partai akan terus menerima informasi positif tentang pilihannya dan informasi negatif tentang lawannya, terlepas dari akurasi informasi tersebut.
Pencitraan semu juga berkontribusi pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi politik. Ketika masyarakat mulai menyadari adanya kesenjangan antara janji dan kenyataan, antara citra yang diprojeksikan dan performa aktual, skeptisme terhadap sistem politik pun meningkat dan pada akhirnya bisa mengancam legitimasi demokrasi itu sendiri.
Sudah saatnya kita bangkit dari keterpurukan literasi politik ini sebelum terlambat, karena masa depan bangsa tidak bisa diserahkan pada mereka yang hanya pandai berpura-pura peduli. Mengatasi permasalahan ini memerlukan pendekatan multi-dimensional yang melibatkan reformasi sistem pendidikan untuk lebih menekankan pengembangan kemampuan berpikir kritis, peningkatan kualitas pemberitaan politik melalui jurnalisme investigatif, penguatan peran masyarakat sipil dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas, serta perbaikan regulasi tentang penyebaran informasi di media sosial tanpa mengorbankan prinsip kebebasan berekspresi.
Masih ada harapan untuk memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia, asalkan kita semua berkomitmen meninggalkan politik pencitraan dan beralih pada substansi yang mengutamakan kepentingan rakyat. Politisi harus memiliki keberanian untuk berkompetisi berdasarkan substansi, bukan sekadar pencitraan. Masyarakat perlu mengembangkan literasi politik dan kemampuan berpikir kritis. Media massa harus kembali pada fungsi edukasi dan kontrolnya. Sementara sistem pendidikan perlu direvitalisasi untuk menghasilkan warga negara yang melek politik.
Permasalahan rendahnya pengetahuan politik masyarakat dan maraknya pencitraan semu bukanlah fenomena yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat, namun dibutuhkan komitmen jangka panjang dari semua pihak untuk menciptakan ekosistem politik yang lebih sehat dan demokratis. Masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan kita semua, dan pilihan ada pada kita: akan terus terjebak dalam lingkaran pencitraan semu atau berani melangkah menuju politik yang lebih substantif dan bermartabat demi kepentingan bersama, bukan karena terpengaruh pencitraan sesaat atau informasi yang menyesatkan.

literasi politik pencitraan politik pemilu Indonesia pendidikan politik masyarakat apatis politik media sosial kualitas pemilih krisis demokrasi strategi kampanye opini publik Indonesia

Berita Populer 🔥🔍📄

Lihat Semua

Khazanah

Lihat Semua